Sederhana///Dinda
Sederhana, penuh dengan kecukupan. memang susah memulai dengan hidup
sederhana tetapi indah
hidup dengan sederhana dan selalu bersyukur dari
pada dengan bermewahan tetapi penuh dengan kegelisahan.
v
Hidup Sederhana Menurut Islam
Islam mengajarkan kita agar hidup
sederhana. Dengan hidup sederhana, kita selalu akan merasa cukup, bahagia, dan
bersyukur kepada Allah. Sebaliknya Allah melarang kita untuk hidup mewah dan
boros.
”Bermegah-megahan telah melalaikan kamu” [At Takatsuur:1]
”Dan berikanlah kepada
keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang
dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara
boros.Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan
itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” [Al Israa’:26-27]
Allah menyebut orang-orang yang
mewah sebagai lalai dan masuk neraka. Allah menyebut orang-orang yang boros dan
menghamburkan harta untuk kepentingan pribadi secara berlebihan sebagai
“SAUDARA SETAN”. Mengapa? Ini karena orang yang boros biasanya akan berlaku
zalim. Meski pendapatan besar, karena boros, dia akan selalu merasa kurang. Dia
akan mencuri, merampok, korupsi dan sebagainya untuk membiayai gaya hidupnya
yang boros itu.
Tak heran jika ada satu pejabat yang
lembaganya dikenal sebagai satu lembaga terkorup berkata: “Siapa sih yang
gajinya cukup untuk hidup?” Begitu katanya. Padahal selain punya rumah dan
mobil mewah, pejabat itu juga punya sepeda motor Harley Davidson yang amat
mahal.
Sebaliknya, seorang poisi yang
jujur, pak Bibit berkata: “Besar kecil gaji itu relatif. Kalau kita makan di
restoran hotel, seminggu juga sudah habis. Tapi kalau sekedar makan nasi kecap
dengan lauk tempe, 2 bulan juga masih cukup”. Jadi hiduplah sederhana. Belajar
bersikap Zuhud (tidak tamak pada dunia) dan Qana’ah (merasa cukup atas apa yang
ada).
Inilah kesederhanaan Nabi. Jika mau,
beliau bisa hidup mewah seperti Kaisar Romawi dan Kisra Persia. Tapi beliau
tidak mau melakukan itu. Sebagian besar hartanya diberikan untuk ummatnya.
Ulama sbg Pewaris Nabi harusnya mewarisi sikap Nabi seperti ini:
Saat Umar
ra memasuki kamar Nabi: Aku lalu segera masuk menemui Rasulullah saw. yang
sedang berbaring di atas sebuah tikar. Aku duduk di dekatnya lalu beliau
menurunkan kain sarungnya dan tidak ada sesuatu lain yang menutupi beliau
selain kain itu. Terlihatlah tikar telah meninggalkan bekas di tubuh beliau.
Kemudian aku melayangkan pandangan ke sekitar kamar beliau. Tiba-tiba aku
melihat segenggam gandum kira-kira seberat satu sha‘ dan daun penyamak kulit di
salah satu sudut kamar serta sehelai kulit binatang yang belum sempurna
disamak. Seketika kedua mataku meneteskan air mata tanpa dapat kutahan.
Rasulullah bertanya: Apakah
yang membuatmu menangis, wahai putra Khathab?
Aku menjawab: Wahai
Rasulullah, bagaimana aku tidak menangis, tikar itu telah membekas di
pinggangmu dan tempat ini aku tidak melihat yang lain dari apa yang telah aku
lihat. Sementara kaisar Romawi dan raja Persia bergelimang buah-buahan dan
sungai-sungai sedangkan engkau adalah utusan Allah dan hamba pilihan-Nya hanya
berada dalam sebuah kamar pengasingan seperti ini.
Rasulullah
saw. lalu bersabda: Wahai putra Khathab, apakah kamu tidak rela, jika akhirat
menjadi bagian kita dan dunia menjadi bagian mereka? Aku menjawab: Tentu saja
aku rela…” (Shahih Muslim No.2704)
Dari Abu Musaal-Asy’ari r.a.,
katanya: “Aisyah ra mengeluarkan untuk kita -maksudnya agar kita dapat
melihatnya- sebuah baju dan sarung kasar, lalu ia berkata: “Rasulullah s.a.w.
dicabut ruhnya sewaktu mengenakan kedua pakaian ini.” (Muttafaq ‘alaih)
Dari Abu Hurairah r.a., katanya:
“Rasulullah s.a.w. bersabda: “Ya Allah, jadikanlah rezeki keluarga Muhammad ini
makanan sekadar menutup kelaparan.” (Muttafaq ‘alaih)
Dari Anas r.a., katanya: “Nabi
s.a.w. itu tidak pernah makan di atas meja sehingga beliau wafat, juga tidak
pernah makan roti yang diperhaluskan buatannya sehingga beliau wafat.” (Riwayat
Bukhari)
Dari Aisyah ra, katanya: “Tidak pernah kenyang keluarga Muhammad s.a.w. itu
dari roti gandum selama dua hari terus menerus, keadaan sedemikian ini sampai
beliau s.a.w. dicabut ruhnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Selama 2 bulan dapur keluarga Nabi Muhammad tidak “ngebul”. Cuma makan
kurma dan air belaka…
Dari Urwah dari Aisyah ra,
bahwasanya Aisyah pernah berkata: “Demi Allah, hai anak saudaraku, sesungguhnya
kita melihat ke bulan sabit, kemudian timbul pula bulan sabit, kemudian timbul
pula bulan sabit. Jadi tiga bulan sabit yang berarti dalam dua bulan lamanya,
sedang di rumah-rumah keluarga Rasulullah s.a.w. tidak pernah ada nyala api.”
Saya -yakni Urwah- berkata: “Hai bibi, maka apakah yang dapat menghidupkan Anda
sekalian?” Aisyah ra menjawab: “Dua benda hitam, yaitu kurma dan air belaka,
hanya saja Rasulullah s.a.w. mempunyai beberapa tetangga dari kaum Anshar,
mereka itu mempunyai beberapa ekor unta manihah, lalu mereka kirimkanlah air
susunya itu kepada Rasulullah s.a.w. kemudian memberikan minuman itu kepada
kita.” (Muttafaq ‘alaih)
Dari Said al-Maqburi dari Abu
Hurairah r.a. bahwasanya ia berjalan melalui kaum yang di hadapan mereka itu
ada seekor kambing yang sedang dipanggang. Mereka memanggilnya, tetapi ia
enggan untuk ikut memakannya dan ia berkata: “Rasulullah s.a.w. keluar dari
dunia -yakni wafat- dan tidak pernah kenyang dari roti gandum.” (Riwayat
Bukhari)
Dari an-Nu’man bin Basyir ra, katanya: “Sungguh-sungguh saya pernah melihat
Nabimu s.a.w. dan beliau tidak mendapatkan kurma bermutu rendahpun yang dapat
digunakan untuk mengisi perutnya.” (Riwayat Muslim) Daqal adalah kurma yang
bermutu rendah.
Dari Sahal bin Sa’ad r.a., katanya:
“Rasulullah s.a.w. tidak pernah melihat roti putih sama sekali sejak beliau di
utus oleh Allah Ta’ala sehingga dicabut ruhnya oleh Allah Ta’ala. Kepada Sahal
ini ditanyakan: “Apakah di zaman Rasulullah s.a.w. itu engkau semua tidak
mempunyai alat pengayak?” Ia menjawab: “Rasulullah s.a.w. tidak pernah melihat
alat pengayak itu sejak beliau diutus oleh Allah Ta’ala sehingga dicabut ruhnya
oleh Allah Ta’ala.” Kepadanya ditanyakan lagi: “Bagaimana caranya engkau semua
makan gandum kalau tidak diayak?” Ia menjawab: “Kita semua menumbuknya dan
meniupkannya, kemudian beterbanganlah benda-benda yang dapat terbang daripadanya
itu lalu mana yang tertinggal, maka itulah yang kami basahi untuk dijadikan
adukan tepung -untuk membuat roti.” (Riwayat Bukhari) Ucapannya Annaqi dengan
fathahnya nun dan kasrahnya qaf serta syaddahnya ya’ yaitu roti yang berwarna
putih dan itulah yang disebut darmak. Tsarrainahu dengan tsa’ mutsallatsah
kemudian ra’ musyaddadah lalu ya’ mutsannat di bawahnya, lalu nun, artinya kita
basahi dan kita jadikan adukan tepung -guna membuat roti.
Dari Abu Hurairah r.a., katanya:
“Rasulullah s.a.w. pada suatu hari atau suatu malam keluar, kemudian tiba-tiba
bertemu dengan Abu Bakar dan Umar ra, lalu beliau bertanya: “Apakah yang
menyebabkan engkau berdua keluar ini?” Keduanya menjawab: “Karena lapar ya
Rasulullah.” Beliau lalu bersabda: “Adapun saya, demi Zat yang jiwaku ada di
dalam genggaman kekuasaanNya, sesungguhnya yang menyebabkan saya keluar ini
adalah sesuatu yang juga menyebabkan engkau berdua keluar itu -yakni sama-sama
lapar-, Ayolah pergi.” Keduanya pergi bersama beliau s.a.w., lalu mendatangi
seorang lelaki dari kaum Anshar, tiba-tiba lelaki itu tidak sedang di rumahnya.
Ketika istrinya melihat Nabi s.a.w., lalu berkata: Marhaban wa ahlan. Selamat
datang di rumah ini dan harap mendapatkan keluarga yang baik. Rasulullah s.a.w.
lalu bertanya: “Di mana Fulan -suamimu?” Istrinya menjawab: “Ia pergi mencari
air tawar untuk kita.” Tiba-tiba di saat itu orang Anshar -suaminya itu-
datang. Ia melihat kepada Rasulullah s.a.w. dan kedua orang sahabatnya,
kemudian berkata: “Alhamdulillah. Tiada seorangpun yang pada hari ini mempunyai
tamu-tamu yang lebih mulia daripada saya sendiri. Orang itu lalu pergi kemudian
datang lagi menemui tamu-tamunya itu dengan membawa sebuah batang kurma
-berlobang- berisikan kurma berwarna, kurma kering dan kurma basah. Iapun berkata:
“Silahkanlah makan.” Selanjutnya ia mengambil pisau, lalu Rasulullah s.a.w.
bersabda: “Jangan menyembelih yang mengandung air susu.” Orang Anshar itu lalu
menyembelih untuk tamu-tamunya itu, kemudian mereka makan kambing itu, juga
kurma dari batang kurma tadi serta minum pulalah mereka. Setelah semuanya itu
kenyang dan segar -tidak kehausan- lalu Rasulullah s.a.w. bersabda: “Demi Zat
yang jiwaku ada di dalam genggaman kekuasaanNya, sesungguhnya engkau semua akan
ditanya dari kenikmatan yang engkau semua rasakan ini pada hari kiamat. Engkau
semua dikeluarkan dari rumahmu oleh kelaparan. Kemudian engkau semua tidak
kembali sehingga engkau semua memperoleh kenikmatan ini.” (Riwayat Muslim)
Ucapannya yasta’dzibu artinya mencari air tawar dan itulah air yang bagus.
Al-‘izdqu dengan kasrahnya ‘ain dan sukunnya dzal mu’jamah, yaitu batang atau
dahan -kurma dan lain-lain. Almudyatu dengan dhammahnya mim atau boleh pula
dikasrahkan, yaitu pisau. Alhalub ialah binatang yang berisikan susu dalam
teteknya. Pertanyaan mengenai kenikmatan ini adalah pertanyaan tentang banyak
jumlahnya kenikmatan, bukan pertanyaan sebagai olok-olok dan penyiksaan.
Wallahu a’lam. Adapun orang Anshar yang didatangi oleh Rasulullah s.a.w. serta
kedua orang sahabatnya itu ialah Abul Haitsam bin at-Taihan. Demikianlah dalam
sebuah Hadis yang dijelaskan menurut riwayat Tirmidzi dan lain-lain.
Dari Sa’ad bin Abu Waqqash r.a.,
katanya: “Sesungguhnya saya itu pertama-tama orang Arab yang melempar dengan
panahnya -untuk- fisabilillah. Kita semua waktu itu berperang beserta
Rasulullah s.a.w. dan kita tidak mempunyai makanan sedikitpun melainkan daun
pohon hublah dan daun pohon samurini, sehingga seorang dari kita itu
sesungguhnya mengeluarkan kotoran besar sebagaimana keadaan kambing kalau mengeluarkan
kotoran besarnya dan tidak dapat bercampur dengan lainnya -yakni bulat-bulat
serta kering, karena tidak ada yang dimakan.” (Muttafaq ‘alaih) Alhublah dengan
dhammahnya ha’ dan sukunnya ba’ muwah-hadah, juga samur adalah dua macam
pohon-pohonan yang terkenal di daerah badiah yakni tanah Arab bagian pedalaman.
Dari Abu Hurairah r.a., katanya:
“Demi Zat yang tiada Tuhan melainkan Dia, sesungguhnya bahwa saya menyandarkan
hatiku ke bumi karena kelaparan dan sesungguhnya pula bahwa saya mengikatkan
batu pada perut saya karena kelaparan. Sebenarnya saya pernah duduk-duduk pada
suatu hari di jalanan orang-orang yang sama keluar melalui jalanan itu -untuk
mencari nafkahnya masing-masing. Kemudian Nabi s.a.w. berjalan melalui tempat
saya dan beliau tersenyum ketika melihat saya, karena mengetahui keadaan dan
hal ihwal yang ada dalam wajahku dan diriku, kemudian beliau bersabda: “Abu
Hir.” Saya menjawab: “Labbaik ya Rasulullah.” Beliau bersabda lagi: “Mari
ikut,” dan beliau terus berlalu dan saya mengikutinya. Selanjutnya beliau
masuklah di rumah keluarganya, saya mohon izin lalu beliau mengizinkan masuk
untukku. Sayapun masuklah, di situ beliau menemukan susu dalam gelas. Beliau
bertanya: “Dari manakah susu ini?” Keluarganya berkata: “Fulan atau Fulanah itu
menghadiahkan untuk Tuan.” Beliau bersabda: “Abu Hir.” Saya menjawab: “Labbaik
ya Rasulullah.” Beliau bersabda pula: “Susullah para ahlush shuffah, lalu
panggillah mereka untuk datang padaku.” Abu Hurairah berkata: “Ahlush shuffah
itu adalah merupakan tamu-tamu Islam, karena tidak bertempat pada sesuatu
keluarga, tidak pula berharta dan tidak berkerabat pada seorangpun. Jikalau ada
sedekah -zakat- yang datang pada Nabi s.a.w. lalu sedekah -atau zakat- itu
dikirimkan semuanya oleh beliau kepada mereka itu dan beliau sendiri tidak
mengambil sedikitpun daripadanya, tetapi kalau beliau menerima hadiah, maka
dikirimkanlah kepada orang-orang itu dan beliau sendiri mengambil sebagian
daripadanya. Jadi beliau bersama-sama dengan para ahlush shuffah itu untuk
menggunakannya.” Perintah Nabi s.a.w. memanggil ahlush shuffah itu tidak
mengenakkan hati saya dan oleh sebab itu saya berkata: “Apa hubungannya susu
ini untuk diberikan -kepada- ahlush shuffah. Saya adalah lebih berhak untuk
memperoleh susu ini dengan sekali minuman saja, agar saya dapat merasa kuat
tubuhku.” Kemudian, jikalau orang-orang itu datang, Nabi s.a.w. tentu menyuruh
saya agar saya memberikan itu kepada mereka. Barangkali tidak akan dapat sampai
padaku -yakni bahwa saya tidak memperoleh bagian- susu itu, tetapi juga tidak
ada jalan lain kecuali mentaati Allah dan mentaati RasulNya s.a.w. Oleh karena
itu mereka saya datangi dan saya panggillah semuanya. Mereka menghadap dan
meminta izin, lalu Nabi s.a.w. mengizinkan mereka masuk, juga sama mengambil
tempat duduk sendiri-sendiri dalam rumah. Beliau lalu bersabda: “Abu Hir.” Saya
menjawab: “Labbaik ya Rasulullah.” Beliau bersabda lagi: “Ambillah susu itu dan
berikanlah kepada mereka.” Abu Hurairah berkata: “Saya lalu mengambil gelas,
kemudian saya berikan pada seorang dulu. Ia minum sampai kenyang minumnya lalu
gelas dikembalikan. Seterusnya saya berikan kepada yang lain, ia pun minumlah
sampai kenyang pula minumnya, lalu dikembalikanlah gelasnya, sehingga akhirnya
sampai giliran saya memberikan itu kepada Nabi s.a.w., sedang orang-orang
ahlush shuffah itu sudah puas minum semuanya. Beliau s.a.w. mengambil gelas
lalu diletakkan di tangannya, kemudian beliau melihat saya dan tersenyum,
kemudian bersabda: “Abu Hir.” Saya menjawab: “Labbaik ya Rasulullah.” Beliau bersabda
pula: “Sekarang tinggallah saya dan engkau -yang belum minum.” Saya menjawab:
“Benar Tuan, ya Rasulullah.” Beliau bersabda: “Duduklah dan minumlah.” Saya pun
duduklah lalu saya minum. Beliau bersabda lagi: “Minumlah lagi.” Sayapun
minumlah. Beliau tidak henti-hentinya bersabda: “Minumlah lagi,” sehingga saya
berkata: “Tidak, demi Allah yang mengutus Tuan dengan benar, saya sudah tidak
mendapatkan jalan lagi untuk minum itu -artinya sudah amat kenyang minumnya
itu. Setelah itu beliau bersabda: “Kalau begitu, berikanlah saya gelas itu.”
Gelaspun saya berikan, kemudian beliau memuji kepada Allah Ta’ala dan membaca
bismillah di permulaan minumnya lalu beliau minumlah sisanya itu.” (Riwayat
Bukhari)
Dari Muhammad bin Sirin dari Abu
Hurairah r.a., katanya: “Sesungguhnya saya pernah mengalami diriku bahwa saya
jatuh tersungkur antara mimbarnya Rasulullah s.a.w. dengan biliknya Aisyah ra
sampai tidak sadarkan diri. Kemudian datanglah padaku seorang yang datang, lalu
ia meletakkan kakinya di atas leher saya dan ia menyangka bahwa sesungguhnya
saya adalah orang gila, padahal saya tidaklah kejangkitan penyakit gila, tetapi
jatuh saya tadi hanyalah karena kelaparan.” (Riwayat Bukhari)
Dari Aisyah ra, katanya: “Rasulullah s.a.w. wafat
sedang baju besinya sedang digadaikan pada seorang Yahudi dengan nilai tiga
puluh sha’ -gantang- dari gandum.” (Muttafaq ‘alaih)
Dari Anas r.a., katanya: “Nabi
s.a.w. menggadaikan baju besinya dengan gandum dan saya berjalan ke tempat Nabi
s.a.w. dengan membawa roti gandum dan lemak cair yang sudah berubah keadaannya.
Sungguh-sungguh saya mendengar beliau s.a.w. bersabda: “Tiada sesuatupun pada
pagi-pagi ini melainkan hanya segantang untuk para keluarga Muhammad dan tidak
ada untuk sore harinya nanti kecuali segantang pula.” Padahal seluruh
keluarganya itu adalah sembilan rumah.” (Riwayat Bukhari)
Dari Aisyah ra, katanya: “Hamparan Rasulullah s.a.w.
itu terbuat dari kulit dan isinya adalah sabut.” (Riwayat Bukhari)
Dari Imran bin al-Hushain ra dari
Nabi s.a.w., sabdanya: “Sebaik-baik engkau sekalian adalah orang-orang yang
sekurun -semasa- denganku, kemudian yang mengikutinya -yang datang sesudahnya-
kemudian orang-orang yang mengikutnya.” Imran berkata: “Saya tidak tahu, adakah
Nabi s.a.w. mengucapkannya itu dua atau tiga kali.” Nabi s.a.w. selanjutnya
menyabdakan: “Kemudian akan datanglah sesudah mereka itu sesuatu kaum yang
menjadi saksi, tetapi tidak dapat dipercaya kesaksiannya. Mereka juga
berkhianat dan tidak dapat dipercaya amanatnya, demikian pula mereka bernazar,
tetapi tidak suka memenuhi nazarnya dan tampaklah kegemukan dalam tubuh mereka.
-yakni gemuk yang disebabkan karena terlampau banyak makan, minum dan
bersenang-senang dan bukan gemuk karena kejadiannya memang gemuk.” (Muttafaq
‘alaih)
Dari Abu Umamah r.a., katanya:
“Rasulullah s.a.w. bersabda: “Hai anak Adam, sesungguhnya jikalau engkau
memberikan apa-apa yang kelebihan padamu, sebenarnya hal itu adalah lebih baik
untukmu dan jikalau engkau tahan -tidak engkau berikan kepada siapapun, maka
hal itu adalah menjadikan keburukan untukmu. Engkau tidak akan tercela karena
adanya kecukupan -maksudnya menurut syariat engkau tidak akan dianggap salah,
jikalau kehidupanmu itu dalam keadaan yang cukup dan tidak berlebih-lebihan.
Lagi pula mulailah -dalam membelanjakan nafkah- kepada orang yang wajib engkau
nafkahi.” Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah
Hadis hasan shahih.
Dari Ubaidullah bin Mihshan
al-Anshari al-Khathmi r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barangsiapa
diantara engkau semua telah merasa aman -dari musuhnya- dalam dirinya, sehat
dalam tubuhnya, memiliki keperluan hidup -makan, minum, obat dan apa-apa yang
dibutuhkan dalam kehidupannya- pada hari itu, maka ia telah dikaruniai dunia
dengan keseluruhan isinya.” Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan
bahwa ini adalah hadits hasan.
Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash ra bahwasanya Rasulullah s.a.w.
bersabda: “Sungguh berbahagialah orang yang masuk Agama Islam serta diberi
rezeki cukup dan diberi sifat qana’ah -suka menerima- dengan apa-apa yang telah
dikaruniakan oleh Allah.” (Riwayat Muslim)
Dari Abu Muhammad yaitu Fadhalah bin Ubaid al-Anshari r.a. bahwasanya ia
mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Untung besarlah kehidupan seorang yang
telah dikarunia petunjuk untuk memasuki Agama Islam, sedang hidupnya itu adalah
dalam keadaan cukup dan pula ia bersifat qana’ah -suka menerima.” Diriwayatkan
oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan shahih.
Dari Ibnu Abbas ra, katanya:
“Rasulullah s.a.w. dalam beberapa malam yang berturut-turut itu bermalam dalam
keadaan terlipat -maksudnya terlipat perutnya karena lapar, sedang para
keluarganya tidak mendapatkan sesuatu untuk makan malam, juga sebagian banyak
roti yang dimakan itu adalah roti terbuat dari gandum.” Diriwayatkan oleh Imam
Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan shahih.
Dari Abu Karimah, yaitu al-Miqdad
bin Ma’dikariba r.a., katanya: “Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Tidaklah seorang memenuhi sesuatu wadah yang lebih buruk daripada perutnya.
Cukuplah sebenarnya seorang itu makan beberapa suapan yang dapat mendirikan
-menguatkan- tulang rusuknya. Maka jikalau makanan itu harus diisikannya, maka
sepertiga hendaklah untuk makanannya dan sepertiga untuk minumannya dan
sepertiga lagi untuk pernafasannya.” Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia
mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan shahih.
Dari Abu Umamah, yaitu Iyas bin
Tsa’laba al-Anshari al-Harits r.a., katanya: “Para sahabat Rasulullah s.a.w.
pada suatu hari menyebut-nyebutkan di sisi beliau itu tentang hal dunia -yakni
perihal kesenangan, kekayaan dan lain-lain. Kemudian Rasulullah s.a.w.
bersabda: “Tidakkah engkau semua mendengar, tidakkah engkau semua mendengar
bahwa badzadzah itu termasuk keimanan, bahwa badzadzah itu termasuk keimanan.”
Yakni taqahhul. (Riwayat Abu Dawud) Albadzadzah dengan ba’ muwahhadah dan dua
dzal yang mu’jamah artinya ialah keadaan yang serba kusut dan meninggalkan
pakaian yang indah-indah. Adapun taqahhul, dengan qaf dan ha’ maka para ahli
Lughat mengatakan bahwa orang yang bertaqahhul ialah orang yang kering kulitnya
karena keadaan hidupnya yang serba kasar dan meninggalkan kemewahan dalam
segala hal.
Dari Abu Abdillah bin Jabir bin
Abdullah ra, katanya: “Kita dikirimkan oleh Rasulullah s.a.w. -ke medan
peperangan- dan mengangkat Abu Ubaidah r.a. sebagai amir -panglima- untuk
memimpin kita, guna menemui kafilah orang-orang Quraisy. Kita semua membawa bekal
sebuah tempat berisi kurma dan kita tidak menemukan selain itu. Abu Ubaidah
memberikan kita sekurma demi sekurma. Kepada kita ditanyakan -oleh orang lain:
“Bagaimanakah engkau semua berbuat dengan sebiji kurma itu.” Jawabnya: “Kita
mengisapnya sebagaimana seorang anak bayi mengisap tetek. Kemudian kita minum
air setelah itu. Keadaan sedemikian ini mencukupi kita untuk sehari itu sampai
malam. Kita juga memukul daun-daunan dengan tongkat-tongkat kita, lalu kita
basahi dengan air, kemudian kita makanlah itu. Seterusnya kita berangkat ke
pantai laut, lalu tampaklah di atas kita di pantai laut tadi, seolah-olah
seperti tumpukan pasir yang besar, lalu kitapun mendatanginya. Tiba-tiba yang
tampak itu adalah seekor binatang yang dinamakan ikan lodan -hiu. Abu Ubaidah
lalu berkata: “Bangkai,” kemudian ia berkata lagi: “Oh tidak -maksud-nya tidak
haram diambil dagingnya untuk dimakan-. Bahkan kita ini adalah utusan-utusan
dari Rasulullah s.a.w. dan dalam berjuang fisabilillah. Engkau semua adalah
dalam keadaan terpaksa. Maka dari itu makanlah olehmu semua.” Kita semua
berdiam -sambil makan ikan tersebut- dalam waktu sebulan lamanya dan jumlah
kita seluruhnya adalah tiga ratus orang, sehingga kita semuapun menjadi
gemuklah. Sesungguhnya saya melihat bahwa kita semua menciduk dari lobang
matanya itu dengan beberapa gayung akan minyaknya dan kita memotong daripadanya
itu beberapa potongan daging sebesar lembu atau kira-kira selembu-selembu
besarnya. Sungguh-sungguh Abu Ubaidah menyuruh seorang dari kita sebanyak tiga
belas orang, diperintah olehnya supaya duduk dalam lobang matanya dan supaya
mengambil tulang rusuknya, lalu ditegakkan dan dimuatkan pada unta yang
terbesar yang ada beserta kita. Ia berjalan di bawahnya. Kita juga mengambil
bekal dari dagingnya yang telah dikeringkan -dijadikan dendeng. Setelah kita
semua datang di Madinah, kita mendatangi Rasulullah s.a.w., lalu kita
ceritakanlah hal itu kepada beliau, lalu beliau bersabda: “Itu adalah rezeki
yang dikeluarkan oleh Allah untukmu semua. Adakah engkau semua membawa sedikit
dagingnya, supaya dapat memberikan sedekahnya untuk makanan kita?” Kita semua
mengirimkan kepada Rasulullah s.a.w. sebagian dagingnya itu, kemudian beliau
s.a.w. memakannya.” (Riwayat Muslim) Aljirab ialah wadah dari kulit yang sudah
dapat dimaklumi. Lafaz ini dibaca dengan kasrahnya jim atau boleh pula dengan
fathahnya, tetapi dengan kasrah adalah lebih fashih. Namashshuha dengan
fathahnya mim. Alkhabath ialah daun-daunan dari pohon yang dikenal dan dimakan
oleh unta. Alkatsib ialah timbunan dari pasir. Alwaqbu dengan fathahnya wawu
dan saknahnya qaf dan sesudahnya itu ialah ba’ muwahhadah, ialah lobang mata.
Alqilal ialah gayung. Aifidar dengan kasrahnya fa’ dan fathahnya dal yaitu
beberapa potong. Rahala ba’ira yaitu memberikan beban pada unta. Alwasyaiq
dengan syin mu’jamah dan qaf ialah daging yang dipotong-potong untuk
dikeringkan. Wallahu a’lam.
Dari Asma’ binti Yazid ra, katanya:
“Ujung lengan baju gamisnya Rasulullah s.a.w. itu adalah sampai di pergelangan
tangan.” Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah
hadits hasan shahih.
Dari Jabir r.a., katanya:
“Sesungguhnya kita semua pada hari khandak -menggali tanah untuk perlindungan
diri sebelum timbulnya peperangan dan peperangan di waktu itu disebut perang
khandak, artinya parit-, kita semua menggali. Kemudian pada penggalian itu
terhalang oleh adanya gumpaian tanah yang keras. Para sahabat sama-sama
mendatangi Nabi s.a.w., lalu berkata: “Tanah keras ini menghalang-halangi untuk
kelanjutan penggalian parit.” Beliau s.a.w. lalu bersabda: “Saya akan turun.”
Selanjutnya beliau s.a.w. terus berdiri, sedang perut beliau itu diikat di situ
dengan sebuah batu -karena kelaparan. Kita semua memang sudah selama tiga hari
itu tidak merasakan rasa makanan apapun. Nabi s.a.w. lalu mengambil cangkul,
terus memukulnya, maka kembalilah tanah keras itu bagaikan tumpukan pasir yang
hancur lebur. Kemudian saya berkata: “Ya Rasulullah, berilah saya izin untuk
pulang ke rumah.” Seterusnya saya lalu berkata kepada istriku: “Saya telah melihat
sesuatu dalam diri Nabi s.a.w. -yakni pengganjalan perut dengan batu itu- yang
tidak dapat disabarkan lagi. Maka adakah engkau mempunyai sesuatu -yang dapat
dimakan?” Istrinya menjawab: “Saya mempunyai gandum dan kambing perempuan.
Kambing itu lalu saya sembelih, sedang istriku menumbuk gandum, sehingga
dagingnya itu kita letakkan dalam periuk. Kemudian saya mendatangi Nabi s.a.w.,
sedangkan adukan makanan itu telah pecah -yakni sudah lumat dan halus- dan
kuali yang ada diantara batu-batu itu telah hampir masak isinya. Saya berkata
kepada beliau s.a.w.: “Saya mempunyai sedikit makanan ya Rasulullah, maka dari
itu silakan Tuan berdiri -yakni pergi ke tempat saya- bersama seorang atau dua
orang saja. Beliau bertanya: “Berapa banyaknya itu?” Saya menyebutkan
sebagaimana adanya -yakni kambing dengan gandum yang cukup untuk beberapa orang
saja. Beliau s.a.w. lalu bersabda: “Banyak itu dan enak sekali, katakanlah
kepada istrimu, janganlah diangkat dulu periuknya, juga jangan pula diambil
roti itu dari dapur, sehingga saya datang nanti.” Seterusnya beliau s.a.w.
bersabda: “Berdirilah engkau semua,” maka berdirilah semua kaum Muhajirin dan
Anshar -yang ikut membuat parit-. Saya masuk kepada istriku lalu saya berkata:
“Celaka ini. Nabi s.a.w. datang dengan semua kaum Muhajirin dan Anshar, jadi
semua yang menyertainya.” Istrinya berkata: “Adakah beliau menanyakan banyaknya
makanan?” Saya berkata: “Ya.” Seterusnya Rasulullah s.a.w. bersabda: “Masuklah
engkau sekalian dan jangan berjejal-jejalan.” Beliau s.a.w. mulai memotong roti
dan diberikanlah pula di situ dagingnya dan selalu menutupi periuk dan dapur
itu apabila beliau mengambil daripadanya dan mendekatkan kepada
sahabat-sahabatnya itu, kemudian ditariklah kualinya itu -sesudah diambilkan
isinya. Tidak henti-hentinya beliau s.a.w. memotong roti itu dan menciduk kuah
sehingga sekalian sahabatnya itu kenyang semua dan masih ada pula sisanya dalam
kuali. Kemudian beliau s.a.w. bersabda: “Makanlah ini dan berikanlah hadiah
-kepada orang-orang lain seperti tetangga, sebab sesungguhnya para manusia itu
terkena bencana kelaparan-. (Muttafaq ‘alaih)
Dari Anas r.a., katanya: “Abu
Thalhah berkata kepada Ummu Sulaim: “Saya mendengar suara Rasulullah s.a.w. itu
lemah sekali dan saya mengetahui bahwa beliau adalah dalam keadaan lapar. Maka
dari itu, apakah engkau tidak mempunyai sesuatu untuk dimakan?” Ummu Sulaim
lalu mengeluarkan beberapa bulatan dari gandum, kemudian ia mengambil
kerudungnya, kemudian ia melipatkan roti dengan sebagian kerudung tadi, lalu
memasukkannya di bawah bajuku dan mengembalikannya padaku dengan sebagian lagi
-maksudnya bahwa Ummu Sulaim itu melipat roti dengan sebagian kerudung dan
dengan sebagiannya lagi dilipatkan untuk Anas-. Seterusnya Ummu Sulaim menyuruh
saya -Anas- untuk menemui Rasulullah s.a.w., lalu saya pergi dan saya menemui
Rasulullah s.a.w. sedang duduk di dalam masjid disertai oleh orang-orang
banyak. Seterusnya lalu saya berdiri di muka orang-orang itu, kemudian
Rasulullah s.a.w. bersabda: “Adakah engkau diutus oleh Abu Thalhah.” Saya
menjawab: “Ya.” Beliau bersabda lagi: “Apakah untuk sesuatu makanan?” Saya
menjawab: “Ya.” Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda kepada sahabat-sahabatnya
yang ada di masjid: “Berdirilah engkau semua dan berangkatlah.” Saya juga
berangkat mengikuti mereka itu, sehingga datanglah saya kepada Abu Thalhah,
lalu saya memberitahukan padanya -bahwa Nabi s.a.w. mengajak orang banyak. Abu
Thalhah berkata: “Hai Ummu Sulaim. Rasulullah s.a.w. telah datang dengan
orang-orang banyak, sedangkan kita tidak mempunyai sesuatu untuk memberi
makanan kepada mereka semuanya itu.” Istrinya berkata: “Allah dan RasulNya
adalah lebih mengetahui itu.” Abu Thalhah lalu berangkat sehingga bertemu
dengan Rasulullah s.a.w., kemudian berhadapanlah Rasulullah s.a.w. dengannya
sehingga keduanya itu masuk rumah. Selanjutnya Rasulullah bersabda: “Bawa saya
kemari apa yang engkau punyai, hai Ummu Sulaim.” Wanita itu datang dengan roti
tersebut di atas, lalu Rasulullah s.a.w. menyuruh supaya dipotong-potongkan dan
Ummu Sulaim memeraskan di atas roti itu suatu tempat berisi samin, maka itulah
yang merupakan lauknya. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda sekehendak yang
beliau sabdakan, selanjutnya lalu bersabda pula: “Izinkanlah masuk sepuluh
orang.” Orang sepuluh itu diizinkan masuk lalu mereka semuanya makan sehingga
kenyang, lalu keluarlah setelah itu. Seterusnya beliau bersabda lagi:
“Izinkanlah masuk sepuluh orang lagi.” Orang sepuluh itu diizinkan lalu mereka
makan sehingga kenyang kemudian keluarlah mereka itu pula. Beliau s.a.w.
bersabda lagi: “Izinkanlah masuk sepuluh orang lagi.” Demikianlah sehingga
seluruh kaum -yakni yang menyertai Nabi s.a.w. dari masjid- dapat makan
sehingga kenyang semuanya, sedangkan jumlah kaum itu ada tujuh puluh atau
delapan puluh orang.” (Muttafaq ‘alaih)
Nabi tidak
mau memakai pakaian sutera meski beliau mampu:
Hadis riwayat Uqbah bin Amir ra., ia
berkata:
Rasulullah saw. diberi hadiah
sejenis pakaian luar dari sutera. Beliau memakainya untuk mendirikan salat.
Ketika selesai salat, beliau segera menanggalkannya dengan keras seperti tidak
menyukainya kemudian bersabda: Tidak pantas pakaian ini untuk orang-orang yang
bertakwa. (Shahih Muslim No.3868)
Hadis
riwayat Anas bin Malik ra. berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Barang
siapa mengenakan pakaian sutera di dunia, maka ia tidak akan memakainya di
akhirat. (Shahih Muslim No.3866)
Hadis
riwayat Anas bin Malik ra.:
Dari Qatadah ia berkata: Kami bertanya kepada Anas bin Malik: Pakaian apakah
yang paling disukai dan dikagumi Rasulullah saw.? Anas bin Malik ra. menjawab:
Kain hibarah (pakaian bercorak terbuat dari kain katun). (Shahih Muslim
No.3877)
Nabi juga membuang cincin emas yang dia pakai dan
menggantinya dengan cincin perak yang lebih murah. Itu pun untuk keperluan
stempel negara:
Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Dari Nabi saw., beliau melarang memakai cincin emas. (Shahih Muslim No.3896)
Hadis riwayat Abdullah bin Umar ra.,
ia berkata:
Bahwa Rasulullah saw. menyuruh untuk membuatkan cincin dari emas. Beliau
meletakkan mata cincinnya pada bagian dalam telapak tangan bila beliau
memakainya. Orang-orang pun berbuat serupa. Kemudian suatu ketika, beliau duduk
di atas mimbar lalu mencopot cincin itu seraya bersabda: Aku pernah memakai
cincin ini dan meletakkan mata cincinnya di bagian dalam. Lalu beliau membuang
cincin itu dan bersabda: Demi Allah, aku tidak akan memakainya lagi untuk
selamanya! Orang-orang juga ikut membuang cincin-cincin mereka. (Shahih Muslim
No.3898)
Selain cincin perak, perhiasan lain yang menyerupai
wanita seperti gelang, kalung, dan anting itu haram dipakai oleh lelaki.
Nabi melarang kita memakai emas dan perak untuk
perabot rumah seperti gelas, bejana, atau kloset. Emas dan perak itu harus
dipakai untuk kebaikan masyarakat. Bukan untuk sombong berlebih-lebihan!
Hadis riwayat Ummu Salamah ra., istri Nabi saw.:
Rasulullah saw. bersabda: Orang yang minum dengan wadah yang terbuat dari
perak, sesungguhnya menggelegak dalam perutnya api neraka Jahanam. (Shahih
Muslim No.3846)
Hadis riwayat Hudzaifah bin Yaman
ra.:
Bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: Janganlah kalian minum dalam wadah emas
dan perak dan jangan mengenakan pakaian sutera sebab pakaian sutera itu untuk
mereka (orang-orang kafir) di dunia dan untuk kalian di akhirat pada hari
kiamat. (Shahih Muslim No.3849)
Nabi hidup sederhana. Meski
demikian, tidak berarti negara Islam yang beliau pimpin jadi lemah. Justru
segala harta itu sebagian besar dipakai untuk mensejahterakan rakyatnya,
membiayai dakwah dan jihad sehingga kaum kafir Musyrik, Yahudi, Kerajaan
Romawi, dan Kerajaan Persia tidak mampu menyerang Negara Islam. Sebaliknya,
merekalah yang bertekuk lutut.